Bahri, Nelayan yang Tersisih: Ditemukan Tewas di Sungai, Dugaannya Terlibat Penganiayaan

Table of Contents


Bone – Di perbatasan sunyi antara Desa Watu dan Desa Nagauleng, Minggu pagi (8/6/2025), warga dikejutkan oleh penemuan mayat seorang pria yang mengapung di sungai. Lelaki itu bernama Bahri (37), seorang nelayan dari Dusun II, Desa Pallae, Kecamatan Cenrana. Bagi sebagian warga, Bahri adalah sosok pendiam, kadang bingung, kadang terlihat berbicara sendiri. Bagi yang lain, ia adalah seseorang yang sejak lama hidup di pinggir perhatian.


Namun Minggu itu, ia menjadi pusatnya.


Mati dalam Sunyi, Hidup dalam Luka Sosial

Bahri bukan sekadar mayat di sungai. Ia adalah cerminan dari banyak orang yang hidup dengan gangguan kejiwaan tanpa dukungan, tanpa akses kesehatan mental yang memadai, tanpa tempat aman untuk pulih. Ia diduga sebagai pelaku penganiayaan terhadap seorang warga bernama H. Sainuddin dua hari sebelumnya. Polisi menyebut, Bahri mengalami gangguan jiwa. Sebagian warga membenarkannya. Sebagian lain hanya bisa menggeleng, heran, takut, dan sedih.


“Dia sering terlihat mondar-mandir sendiri, tapi tak pernah mengganggu,” kata seorang warga.


Ditemukan oleh Mahasiswa, Diangkat oleh Warga

Tubuh Bahri ditemukan sekitar pukul 06.50 WITA oleh Rifal, mahasiswa yang hendak memancing. Sontak, kabar menyebar cepat. Warga datang beramai-ramai. Namun mayat Bahri tak langsung dievakuasi. Polisi baru tiba beberapa jam kemudian. Barulah, bersama-sama, mereka mengangkat jasad lelaki malang itu dari sungai.


Prosesnya sunyi. Tak ada keluarga di lokasi. Tak ada tangis. Hanya tatapan kosong warga, sebagian mengingat kejadian penganiayaan yang baru saja mengguncang desa. Kini, pelakunya telah tiada. Tapi luka tetap ada.


Keluarga Menolak Autopsi, Polisi Tetap Selidiki

IPTU Rayendra Muchtar, Kasi Humas Polres Bone, menyampaikan bahwa keluarga Bahri menolak dilakukan autopsi. “Mereka menandatangani surat pernyataan penolakan. Kami menghormati itu,” katanya.


Meski demikian, pihak kepolisian menegaskan bahwa proses hukum tetap berlanjut. “Kami masih mendalami kasus penganiayaan dan penyebab pasti kematian Bahri,” tambahnya.


Ketika Kesehatan Mental Tak Dianggap Serius

Tragedi Bahri menyisakan banyak tanya: berapa banyak lagi orang seperti dia yang hidup dalam senyap, bergelut dengan suara-suara dalam kepala, tanpa tempat untuk berbagi? Di desa, di kota, bahkan mungkin di sekitar kita, masih banyak Bahri-Bahri lain yang dipandang aneh, dijauhi, namun tak pernah ditolong.


Kasus ini bukan sekadar kriminal. Ia adalah potret minimnya perhatian terhadap kesehatan mental dan ketidakmampuan sistem sosial menampung mereka yang “berbeda”.


Kini Bahri telah tiada. Tapi kisahnya semestinya tak ikut tenggelam.


//