Andi Ardiman: “Himbauan Hilangkan Budaya Membawa Senjata Tajam Berpotensi Mereduksi Makna Budaya Badik/Kawali”
Bone,– Pemerhati Budaya Andi Ardiman memberikan tanggapan kritis terhadap himbauan Kepolisian Resort Bone yang bertajuk “Hilangkan Budaya Membawa Senjata Tajam”. Ia menilai, penggunaan frasa tersebut tidak hanya berpotensi menimbulkan salah tafsir, tetapi juga dapat menyebabkan reduksi makna budaya terhadap badik/kawali, warisan leluhur masyarakat Bugis-Makassar yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut Andi Ardiman, bahasa dalam himbauan publik tidak boleh dipandang sekedar formalitas. Setiap kalimat yang ditujukan kepada masyarakat memiliki dampak psikologis, sosial, dan kultural.
“Kalimat ‘Hilangkan Budaya Membawa Senjata Tajam’ secara tidak langsung menyamakan seluruh bentuk senjata tajam sebagai budaya yang harus dihapus. Padahal, tidak semua senjata tajam berada dalam kategori kriminal. Badik atau kawali, misalnya, adalah bagian dari identitas budaya Bugis-Makassar yang telah hidup ratusan tahun dan diwariskan lintas generasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika kalimat tersebut dipahami secara mentah oleh masyarakat, maka akan timbul anggapan bahwa budaya badik adalah budaya yang keliru dan berbahaya. Padahal, negara sendiri justru sudah mengakui dan melindungi badik/kawali sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa.
Lebih jauh, Andi Ardiman menekankan bahwa badik/kawali bukan hanya benda tajam, melainkan simbol yang sarat makna filosofis. Dalam tradisi Bugis-Makassar, badik memiliki tiga dimensi penting:
1. Simbol Kehormatan dan Harga Diri
Badik tidak boleh dipamerkan sembarangan. Ia menjadi simbol kesatria, keberanian, sekaligus pengingat moral bagi pemiliknya agar berlaku jujur dan adil.
2. Pusaka Turun-Temurun
Badik diwariskan dari orang tua kepada anak dengan doa, pesan moral, dan tanggung jawab. Ia bukan sekedar benda fisik, melainkan mengandung ikatan spiritual.
3. Identitas Budaya
Badik adalah bagian dari pakaian adat, upacara pernikahan, hingga ritual adat. Kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial dan budaya masyarakat Bugis.
“Mengeneralisasi badik sebagai senjata tajam yang harus dihilangkan sama saja dengan memutus mata rantai nilai luhur yang telah diwariskan leluhur. Inilah yang saya maksud dengan potensi reduksi makna budaya,” ujar Andi Ardiman.
Andi Ardiman juga mengingatkan bahwa kebijakan atau himbauan publik yang tidak sensitif budaya bisa menimbulkan dampak sosial yang serius.
• Stigmatisasi Budaya, Masyarakat bisa melihat badik sebagai simbol negatif, padahal selama ini ia adalah kebanggaan.
• Krisis Identitas, Generasi muda Bugis bisa kehilangan keterhubungan dengan warisan leluhur mereka.
• Ketegangan Sosial, Ketidakcocokan antara hukum dan budaya dapat menciptakan jurang antara aparat dengan masyarakat adat.
“Hukum memang harus tegas, tetapi jangan sampai menimbulkan jarak dengan masyarakat. Polisi harus dipandang sebagai mitra, bukan sebagai pihak yang mengkriminalisasi budaya,” tambahnya.
Sebagai jalan tengah, Andi Ardiman mendorong agar narasi himbauan publik disempurnakan dengan bahasa yang lebih proporsional.
“Yang harus dihilangkan bukan budayanya, melainkan penyalahgunaan senjata tajam untuk tindak kriminal. Narasi ini jauh lebih bijak dan tidak menimbulkan bias makna. Dengan begitu, masyarakat merasa dilindungi, sementara warisan budaya tetap dihormati,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menawarkan beberapa langkah kebijakan praktis:
1. Pemberlakuan izin khusus : Badik boleh dibawa hanya dalam konteks adat, pameran budaya, atau upacara resmi.
2. Sosialisasi bersama : Polisi, budayawan, dan tokoh adat harus bersama-sama mengedukasi masyarakat dengan narasi: “Badik untuk martabat, bukan untuk kriminal”.
Sebagai pemerhati budaya, Andi Ardiman menegaskan bahwa pelestarian warisan budaya tidak boleh dikorbankan oleh generalisasi hukum. Negara wajib menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan pelestarian budaya.
“Keamanan publik adalah prioritas, tetapi pelestarian warisan budaya juga kewajiban. Badik bukan sekedar benda tajam, melainkan simbol kehormatan dan identitas bangsa. Bahasa dalam himbauan publik harus hati-hati, agar hukum tetap tegas tanpa mereduksi makna budaya,” pungkasnya.